Story: Bapak dan Cerita Masa Kanak-kanak | Ramadhan Bersama Bapak! | Cerita Ramadhan
Story: Bapak dan Cerita Masa Kanak-kanak | Ramadhan Bersama Bapak! | Cerita Ramadhan
Estimasi waktu membaca:
00:08:00 (delapan menit)
"Woi!!! Tidur di masjid! Balik sana!" Bentak Pak Muryah, salah satu imam masjid. Anak-anak yamg dibentak tersebut langsung lari tunggang langgang disertai tawa meriah. "Dasar bocah nggak sopan. Tidur di masjid." Gumam Wak Muryah sambil berjalan ke dalam masjid untuk memastikan semuanya tidak diacak-acak.
"Oalah bocah-bocah, pasti dimarahi Wak Muryah ya?" Ujar Mbah Saeti, ketika keluar untuk memastikan suara langkah kaki yang berderap mendekati rumah.
Joko salah satu anak yang berlari tersebut, membalas Mbah Eti walau sambil tersenggal, "iya Mbah... kami ketahuan! Ngeri banget!" Ujarnya yang mendapat anggukan dari Jaya, Adi, Supardi, dan Tikno.
"Padahal kan enak tidur di masjid, lebih adem yaa Mbah." Timpal Tikno. "Aku balik ke rumah sajalah. Besok jadi jalan-jalan kan?" Imbuhnya sambil memandang teman-temannya secara bergantian, untuk memastikan jawaban. Dan teman-temannya mengangguk serempak.
Adi dan Supardi mengikuti Tikno pulang ke rumah juga, setelah berpamitan dengan Mbah Eti dan Jaya.
"Balik dulu Mbah, sudah malam. Monggo mbah." Pamit Adi.
"Monggo mbah." Timpal Supardi, dan segera menyusul Adi. Rumah mereka berada di bagian belakang rumah Mbah Eti. Namun meskipun dekat, akses jalurnya harus melewati lorong antar rumah yang gelap gulita. Hanya diterangi pelita yang terlihat sayup-sayup dari dalam rumah lainnya.
"Ayo... bebersih dulu sana! Habis itu langsung tidur." Mbah Eti segera menggandeng lengan kurus Jaya. Walaupun sudah kelas enam, Jaya memiliki tubuh yang kurus dan paling pendek di antara teman-temannya.
"Mbah Samiyah sudah berangkat, mbah?" Tanya Jaya setelah selesai bebersih.
Mbah Eti dengan sabar sambil membawa penerangan yang seadanya, mengikuti Jaya dari belakang dan menutup pintu belakang.
Mbah Samiyah dikenal sangat pandai dalam menangkap ikan. Selain itu, Mbah Samiyah juga ulet dalam membuat ikan asin di tengah laut, agar dapat dibawa pulang untuk oleh-oleh selama melaut. Mbah Samiyah juga memiliki berbagai macam alat menangkap ikan. Jaring-jaring yang dimiliki Mbah Samiyah, disebut memiliki unsur magis karena sering menjaring ikan-ikan dalam jumlah besar. Padahal kata Mbah Samiyah, kunci mendapatkan ikan banyak adalah selalu memanfaatkan peluang yang ada, dan jangan hanya tidur terus ketika melaut.
"Iya Mbah?" Tanya Jaya, ketika Mbah Samiyah pulang.
Kali ini Jaya, mendapat tugas membawa ikan yang sudah diasinkan dalam ember. Mbah Eti membantu membawakan peralatan lainnya.
"Apa Ya? Namanya nelayan, kalau mau hasil tangkapannya banyak yaa harus pintar mencari peluang. Jangan tidur terus. Kalau tidur terus di kapal, ya sama saja seperti pindah kasur (tempat tidur)." Balas Mbah Samiyah sambil memanggul jaring di punggung sebelah kanan.
"Sana, kamu pulang dulu ke rumah. Kasih ikan asin itu untuk ibumu." Ujar Mbah Eti, ketika sudah sampai di persimpangan jalan. Jalan yang satu mengarah ke rumah Jaya, dan jalan lainnya mengarah ke rumah Mbah Samiyah, tapi harus di tempuh agak jauh lagi karena berjalan kaki. Dan harus sedikit mendaki, tidak terletak sangat dekat dengan laut seperti rumah orangtua Jaya.
Jaya segera mengangguk, dan memisahkan diri dari kedua simbahnya. "Hati-hati ya Mbah. Nanti sore aku ke rumah Mbah lagi." Pamit Jaya sambil berjalan menuju ke rumahnya.
"Ayo anak-anak! Sudah saatnya mandi. Sebentar lagi berbuka. Dan bau kalian sangat kecuuut sekali! Mirip asam." Ujarku membubarkan waktu mendongeng Bapak. Dan segera mendapat protes dari Sandi dan Andara, serta Bapakku sebagai pendongeng.
"Yahhh! Ibu kok gitu sih! Memotong cerita saat sedang asyik-asyiknya!" Gerutu Sandi yang segera mendapat persetujuan dari Andara, adiknya yang berselisih dua tahun.
"Iyaa... kamu tuh lho, Bapak kan lagi seru-serunya cerita." Timpal Bapak dengan wajah sedih. "Padahal sebentar lagi Mbah mau menceritakan rasanya ikan asin bikinan Mbah Samiyah yang super lezat, eh buyut!" Imbuh Bapak, sambil membuat ekspresi memohon khas anak-anak yang merajuk.
"Ihh.. Bapak ini gimana sih, bau mereka asam banget gitu kok!" Ujarku gemas, karena mendapat perlawanan dari mereka bertiga. "Makanya, tadi ibu kan sudah bilang supaya jangan main lari-lari di belakang. Sekarang bau kalian itu super asam! Ayo mandi!" Balasku tegas dan segera menggiring kedua anakku untuk mandi. Dan mendapat tatapan sedih dari bapakku.
Kemudian Ibuku mendekati bapakku, sambil menyiapkan teh hangat, kopi hitam yang ditumbuk sendiri, dan es degan dengan sirup berwarna pink cerah. Camilannya ada bakwan jagung untuk bapak dan ibu, dan donat isi dan jajanan lainnya untuk anak-anakku.
"Bapak ini gimana sih, sudah jam segini kok yaa ceritanya nggak mau diputus sama sekali. Nanti kalau mereka malah kemalaman mandinya gimana?" Ucap Ibu ketika menyiapkan makanan dan minuman.
"Haduh ibu ini, kan bapak kangen banget sama mereka. Lalu cerita bapak ada banyakkkk banget persediannya. Jadi ingin cerita terus." Kekeh Bapak, sambil ikut menata makanan dan minuman. "Rahman belum sampai yaa bu?" Tanya Bapak di sela tawanya.
"Iya, kata Anita paling menjelang maghrib baru sampai. Dia kalau naik motor kan pelan-pelan. Persis ikut sarannya bapak, alon-alon asal klakon." Balas Ibu, sambil tertawa sebentar. Ibu memandang ke luar jendela, sambil menerawang dan membayangkan betapa miripnya Mas Rahman dan Bapak, yang bahkan kata orang, Mas Rahman lebih cocok jadi anaknya bapak. "Aneh juga yaa, pak, Anita bisa suka sama Rahman yang petakilan persis seperti bapak. Eh tapi sekarang Rahman malah kalem banget orangnya, mungkin Sandi dan Andara membuat dia bahkan lelah untuk ikutan petakilan." Gumam ibu sembari menahan tawa.
"Waduh! Ibu itu lho. Rahman kalau masih petakilan seperti dulu, yaa bakal kupecat jadi mantuku. Anak kok doyan banget jalan-jalan terus." Balas Bapak sambil ikut tertawa.
"Halah, persis sama yang barusan bicara. Jaman dulu, bapak yaa sukanya pergi-pergi gitu, kalau nggak melaut yaaa ke rumahnya pak ini, pak itu, mbah ini, mbah itu, ngaji sana, ngaji sini. Hanya saja, kalau jaman sekarang kan sudah beda cara. Tapi intinya sih sama Pak, bapak dan Rahman sama-sama suka pergi-pergi." Ujar ibu.
"Tapi Mas Rahman masih lumayan, bisa mengerem walaupun blong!" Imbuhku dan ikutan tertawa di antara kedua orangtuaku.
Dua anakku segera memepet Bapak lagi, sambil memilih es degan di mangkok yang mana yang memiliki jumlah degan atau air terbanyak. "Ayooo Mbah cerita lagi! Ikan asin itu gimana cara buatnya? Mbah bisa bikin ikan asin?" Ujar Sandi dan Andara bergantian.
Adzan berkumandang
"Alhamdulilah!" Ujar kami serempak.
"Nah cerita ramadhan bersama Mbahnya, dilanjut nanti yaa sesudah maghrib. Yuk dibatalkan dulu." Ujarku sambil mengambil gelas untuk air putih. Sandi dan Andara terlihat sedikit kecewa, namun mereka segera ribut memperebutkan mangkok yang berisi es degan, setelah meminum air putih dan menyeruput sedikit teh hangat.
THE END
Baca juga kisah pencarian jodoh Sonna yang disembunyikan Tuhan! Di Satria Untuk Sonna: dan Petualangan Pencarian Jodoh yang Disembunyikan Tuhan.
Ikuti kisah Ramadhan Bersama Bapak! Selama bulan ramadhan, rilis setiap hari Senin pukul 16.00 WIB.
Menu Story
Ikuti kisah Ramadhan Bersama Bapak! Selama bulan ramadhan, rilis setiap hari Senin pukul 16.00 WIB.
Menu Story
Rilis setiap senin pukul 16.00 WIB!
Selamat membaca!
Komentar
Posting Komentar