Story: Ramadhan di Pondok Pesantren | Ramadhan Bersama Bapak! | Cerita Ramadhan

Story: Ramadhan di Pondok Pesantren | Ramadhan Bersama Bapak! | Cerita Ramadhan


Estimasi waktu membaca: 
00:07:00 (tujuh menit)

Bulan ramadhan kembali menyapa umat islam dalam suasana yang tidak biasa. Suasana khas ramadhan untuk beberapa daerah yang lain terlihat cukup sepi. Seperti di Pondok Pesantren Waringin Batang, biasanya saat ramadhan seperti ini suasananya sangat ramai. Para santriwan dan santriwati saling berlomba menambah hapalan surah, mengaji, bahkan antusias mengikuti setiap ceramah yang dilakukan oleh para kiai. 

Namun saat ini, pondok pesantren ini terlihat begitu sepi, tanpa celoteh dan canda tawa para santriwan dan santriwati. Semua sudah pulang ke rumah masing-masing sejak covid-19 mulai menyebar di Indonesia. Banyak para orangtua berbondong-bondong menjemput anaknya.

Walaupun akhirnya aku tidak bisa sowan ke rumah Bapak ramadhan dan lebaran ini. Hal yang sangat aku sesalkan, karena selama ini aku sering kali menunda kepulanganku. Padahal jarak rumah dan pondok pesantren ini tidak begitu jauh. Sekitar empat jam perjalanan. Hanya perlu ditempuh dengan naik becak untuk sampai ke jalan raya, lalu mencari bus dengan tujuan ke Cirebon, lalu berhenti di Petarukan Pemalang, dan perjalanan biasanya aku lanjutkan dengan berjalan kaki, dan memasuki gang sebelah Masjid besar di pinggir jalan raya. Rumah bapak tidak begitu jauh dari Masjid.

"Lagi melamun?" Tanya Mas Agas yang baru saja pulang. 

"Kangen Bapak, Mas." Balasku sambil mengaduk teh hangat yang nantinya akan kami bagikan untuk para tukang becak yang mangkal tidak jauh dari pondok pesantren, bersama makanan untuk menu berbuka.

"Yasudah nanti setelah selesai membagikan makanan, kita telepon bapak ya." Ujar Mas Agas, kemudian berlalu ke kamar mandi untuk bebersih.

Lalu kubalas dengan anggukan dan segera menyelesaikan membuat menu berbuka. 

Aku dan Mas Agas serta dibantu Om Sukma, membagikan makanan dan minuman tersebut kepada orang-orang tua yang bekerja di pinggir jalan tak jauh dari pondok pesantren. Mulai dari tukang parkir, penjual mainan anak-anak, hingga yang terbanyak tukang becak. Semua berebut mendapatkan makanan gratis, agar dapat digunakan untuk berbuka, baik untuk diri sendiri, ataupun dibagi dengan keluarganya. 

"Nanti buka bareng sama Abah?" Tanya Om Sukma ketika kami bersiap kembali ke pondok pesantren dengan berjalan kaki. 

Mas Agas melihat ke arahku sekilas, lalu membalas Om Sukma, "kayaknya nggak om. Kami mau teleponan sama Bapak." Balas Mas Agas sambil menatap ke arahku. "Ya kan Dek?" Imbuh Mas Agas, yang kubalas dengan anggukan mantap.


*Bapak Calling*

"Assalammuaalaikum, Bapak!" Pekikku diantara salam. 

"Waalaikumsalam." Balas Bapak dengan suara beratnya. "Gimana kabarnya dek? Puasa masih lancar kan?" Tanya Bapak.

Bapak, Mbak Salma dan Mas Atok selalu memanggilku dengan sebutan "Adek" yang membuat semua orang memanggilku demikian. Termasuk keluarga Mas Agas ikutan memanggilku adek. Dan Mas Agas sendiri, tentunya.

"Alhamdulilah Pak, lancar. Kalau Bapak?" Balasku singkat. 

Mas Agas duduk di sebelahku sambil sesekali tertawa. Mungkin saat ini wajahku sedang menunjukan ekspresi yang lucu? Entahlah, tapi Mas Agas sering sekali menggodaku ketika aku bertelepon dengan Bapak. Katanya, aku seperti anak kecil ketika bertelepon dengan bapak.

"Iya, Mbak dan Masmu juga. Di sini keadaannya sepi sekali. Kalau di sana bagaimana?" Tanya bapak lagi. Bapak jarang sekali mengekspresikan pertanyaan dalam benaknya. Kali ini bapak pasti sangat rindu padaku. Bukannya terlalu percaya diri. Tapi bapak memang jarang mengekspresikan dirinya. Biasanya pertanyaannya singkat-singkat. Dan to the point. 

"Alhamdulilah ya Pak. Di sini juga semua baik-baik saja Pak. Yah lumayan sepi, kan biasanya kalau ramadhan seperti sekarang, banyak santri yang berlomba-lomba khatam Al-qur'an. Dan santri yang kena hukuman." Balasku sambil menerawang dan membayangkan kejadian ramadhan tahun lalu.

"Persis seperti seorang santriwati yang sering kena hukuman karena sering kabur." Celetuk Mas Agas.

"Loh!? Ada Nak Agas to? Iyaa benar sekali. Sampai harus di jemput sama Abah ya?" Balas Bapak, walaupun bernada datar, tapi aku tahu bapak saat ini sedang tersenyum simpul. Biasanya bapak seperti itu, ketika mengenang kelucuan anak-anaknya selama di pesantren. "Emm... kalau gitu, sudah dulu yaa Dek, Nak Agas. Sudah mau berbuka. Semoga puasanya lancar yaa! Wassalammualaikum." Ujar Bapak.

"Eh?! Waalai..." Balasku disambut suara sambungan diputus. 

*Tut... tutt... tutt*

"Bapakkkk... sebel banget. Teleponan kok nggak pernah lebih dari lima menit. Kan lagi kangen sama Bapak!" Omelku pada telepon genggamku.

Adzan berkumandang

"Alhamdulilah. Yuk Dek berbuka. Bapak mungkin ingin berbuka dengan Salma dan Atok." Balas Mas Agas segera membatalkan puasa dengan air putih dan mengambil teh hangat.

Aku mengikuti apa yang dilakukan Mas Agas. Walaupun dengan sikap merajuk gara-gara Bapak memutus telepon mendadak.

Kebiasaan Bapak dari dahulu sampai sekarang. Tidak berubah sedikitpun. Ketika berjauhan Bapak sangat irit bicara. Coba kalau sekarang di rumah, pasti aku akan mendapat banyak sekali wejangan dan cerita masa kecil khas bapak.

Terima kasih bapak, semoga bapak sehat selalu dan dilancarkan puasanya, amin.

"Yuk sholat Dek." Ajak Mas Agas.


THE END



Baca juga kisah pencarian jodoh Sonna yang disembunyikan Tuhan! Di Satria Untuk Sonna: dan Petualangan Pencarian Jodoh yang Disembunyikan Tuhan.

Ikuti kisah Ramadhan Bersama Bapak! Selama bulan ramadhan, rilis setiap hari Senin pukul 16.00 WIB.



Menu Story
Rilis setiap senin pukul 16.00 WIB!
Selamat membaca!



Presented by

© Journal Creative World 2020

Komentar

KAMI BERHAK UNTUK:

Menghapus komentar yang tidak mendidik, merendahkan atau menistakan suatu golongan, serta pertimbangan kenyamanan publik lainnya. Kami harap setiap komentar yang muncul di blog ini ramah untuk dibaca pengguna di segala rentang usia. Mohon cerdas dalam berkomentar.