Story: Waktu Bapak Bercerita ~ Ramadhan Bersama Bapak! ~ Cerita Ramadhan

Story: Waktu Bapak Bercerita ~ Ramadhan Bersama Bapak! ~ Cerita Ramadhan


Estimasi waktu membaca: 
00:11:00 (sebelas menit)

Mas Anjas, Mbak Raras, dan aku. Tiga anak bapak dan ibu, yang memiliki sifat dan karakter bawaan yang berbeda. Mas Anjas yang selalu terlihat keren, apapun yang dipakainya selalu cocok dan pas. Dia bahkan mendapat julukan Mister Kalung Usus. Itu julukan yang diberikan oleh bapak. Menurut bapak, julukan tersebut berarti saat seseorang mengenakan pakaian apa saja akan terlihat bagus. Seperti Mas Anjas yang terlihat keren meskipun hanya menggunakan boxer merah marun dan kaos bola klub favoritnya. Lalu ada Mbak Raras yang dikenal akan sifat keibuannya. Dan kecakapannya dalam urusan rumah tangga. Mbak Raras sudah menjadi murid ibu yang sangat berbakti, patuh, dan sangat menghormati ibu. Maka tidaklah aneh bila Mbak Raras mendapat ilmu-ilmu ibu, seperti ilmu membersihkan rumah, ilmu memasak makanan enak dengan bahan sederhana, ilmu membuat wedang untuk segala musim, musim hujan, musim panas, musim panen dan musim lainnya. Sedangkan aku? Aku lebih tertarik dengan ilmu pertukangan yang dimiliki bapak.

Mengecat dinding kamar, dinding ruang tamu, dinding dapur, dinding samping, bahkan mengecat pagar, mencangkul tanah untuk menanam pohon pisang yang masih kecil milik Pak Karyono. Bahkan aku lebih senang membetulkan motorku yang ngadat daripada mengurusi urusan dapur bersama ibu dan Mbak Raras.

Seperti selama beberapa hari ini, semenjak aku memutuskan untuk pulang ke rumah, aku banyak sekali mengisi waktu luangku untuk membantu bapak dengan segala alat berkebun miliknya yang diambil dari alat menukangnya. Semua alatnya multifungsi.

"Dek, ambilin cetok!" Seru bapak, ketika melihatku memasuki areal perkebunan mini yang di desain bapakku. Kebun mini ini berisi dua buah pohon mangga manalagi, beberapa pohon pisang aneka jenis, tergantung Pak Karyono ketika memberi, ada pohon anggur, pohon jambu biji, daun pandan, pohon daun jeruk, bahkan pohon cabe dan buah ceplukan. Semua yang ditanam bapak kebanyakan yang dapat dimanfaatkan, baik yang manis macam buah-buahan ataupun sebagai bahan pendamping ibu memasak.

Tanpa membalas seruan bapak, aku segera mendekati alat perkakas milik bapak, dan memilih cetok diantara ember kecil penuh perkakas mini. "Nggak ada pak!" Seruku ketika sudah mencarinya pada beberapa ember.

"Mana????" Seru bapakku lantang.

"Nggak ada!!!" Balasku ikut berseru juga, sambil terus mencari cetok di sela-sela ember dan perkakas lainnya.

"Ishhhh... apa sih, puasa-puasa kok pada jejeritan. Dek tolong cicipin makanan yang mbak buat dong." Celetuk Mbak Raras tiba-tiba.

Aku yang terkaget, lalu terjengkang ke belakang dan menabrak ember lainnya yang diletakkan saling berdekatan oleh bapak. Bapak yang mendengar suara gaduh peralatan jatuh dari dalam ember, segera menyusul.

"Aduh! Mbak Raras tuh ya, ngagetin tahu!" Protesku sambil bangkit dan mengelus bagian belakang tubuhku yang sakit dan kotor.

"Walah... disuruh cari cetok malah ngobrak-abrik ember." Seloroh bapak. "Kamu masak apa Ras? Enak banget kayaknya." Imbuh bapak untuk Mbak Raras.

"Masak buat menu berbuka dan makan malam, pak." Balas Mbak Raras sambil menarikku. "Pak, Ria-nya kupinjam untuk icip-icip dulu yaa." Ujar Mbak Raras lalu menyeretku ke arah dapur.

Usiaku dan Mbak Raras tidak berselisih banyak, tapi entah bagaimana rasanya Mbak Raras sangat keibuan walaupun galak. Atau karena Mbak Raras akan menikah? Jadi terlihat lebih dewasa dan matang secara pribadi? Tidak seperti aku yang asyik bekerja freelance hingga lupa waktu?

Bapak dan Ibu memang tidak pernah mempermasalahkan pilihan pekerjaanku, hanya saja rasanya sekarang terlihat sangat jauh sekali jurang antara aku dan Mbak Raras yang guru Tata Busana di SMP 1 Karangamba.

Atau perasaan ini datang karena aku takut kehilangan Mbak Raras? Sebagai saudara perempuan tua yang kumiliki. Walaupun ada Mas Anjas, tapi sebagai sesama perempuan Mbak Raras dan ibu banyak sekali membantu ketika masa remajaku.

"Galau saja nih." Tegur bapak, ketika aku sudah kembali menyusul bapak di kebun miliknya.

"Pak... Mbak Raras sebentar lagi menikah. Sedih yaa, pak kita nggak bisa bareng-bareng lagi. Mana Mbak Raras bakal ikut Mas Rino ke Surabaya. Jauh banget Pak. Kalau aku kangen gimana? Teleponan atau chatan nggak akan bisa mengobati deh rasanya." Cerocosku sambil menyiram lidah buaya.

"Yaa nggak sedih dong, masak Mbak sendiri nikah, kamu sedih sih. Makanya jangan kelamaan jomblo." Celetuk bapak sambil melangkah mendekati kran air untuk bebersih. "Pernikahan itu, tidak menjauhkan kamu dan Mbakmu, dek. Tapi membuat tali persaudaraan kita semakin luas. Mbakmu saat ini sudah menemukan jodohnya. Namanya juga jodoh siapa yang tahu? Mbakmu nggak pernah kemana-mana tapi bisa dapatin Rino yang orang Surabaya. Padahal Rino sendiri nggak pernah ke Pemalang. Namanya juga jodoh, kalau akhirnya mereka bertemu, itu semua sudah ditakdirkan oleh sang Pencipta semesta raya ini." Ujar Bapak sambil membersihkan peralatan menukangnya dan tangannya.

"Tapi kan nantinya Mbak Raras bakal pindah, pak." Balasku setengah merajuk.

"Mbakmu kan belum pasti pindahnya. Lihat pekerjaan Rino yang sering pindah-pindah. Kemarin Rino sudah bilang, kalau memang dia sering pindah ke luar daerah, mungkin Mbak Raras lebih baik di sini saja. Kalau mau di Surabaya juga boleh sih katanya." Timpal bapak menengahi. "Jangan sedih ah, karena pernikahan. Pernikahan adalah kebahagiaan karena akhirnya jiwa mereka saling bertemu dan menyatu, ini momen bahagia. Kamu jangan pasang wajah cemberut gitu dong." Imbuh bapak, sambil menggedikan bahunya, mengajaku untuk bebersih dan segera siap untuk berbuka bersama.

Benar yang dikatakan bapak. Hanya saja Mbak Raras sudah menjadi mbak, teman, sahabat, kadang juga musuh yang sangat dekat denganku. Kalau akhirnya Mbak Raras menikah, aku memang tidak boleh menunjukan wakah sedihku ini. Tapi rasanya ada yang hilang. Tapi apa ya?

-

"Anakmu ini lho bu. Galau mau ditinggal Raras nikah." Ujar bapak, ketika aku sedang memijat bapak dan ibu bergantian.

"Galau gimana sih dek?" tanya ibu ketika sedang kupijat kakinya.

"Galau kalau nantinya dia yang gantian harus masak dan bebersih rumah." Seloroh bapak, yang langsung kucubit lengannya. "Aduh!"

"Coba pak kasih wejangan nih anak, biar nggak galau terus." Balas ibu lagi.

Bapak terlihat bersiap-siap dengan duduk lebih tegak dan menyesap kopi hitamnya.

"Jadi gini dek... Manusia itu nantinya pada waktunya pasti akan dipertemukan dengan jodohnya. Alias belahan jiwanya. Entah bagaimana caranya. Dan ketika waktunya akhirnya tiba, hal ini memang tidak dapat diterka kapan tibanya. Tapi sepertinya saat inilah waktu yang tepat untuk melepas Mbak Raras agar segera melangkah ke babak baru kehidupan. Hidup bersama suaminya. Nantinya kamu juga akan menyusul, ketika waktunya tiba. Seperti Masmu, yang saat ini sedang memantapkan hati pada pujaan hatinya si Lala." Ujar bapak dengan suara tenang.

"Bapak dulu juga nggak nyangka akan bertemu dengan ibumu ini." Ujar bapak lagi sambil menepuk pundak ibu. "Dulu bapak kan hanya orang rantau yang hidup untuk bekerja, sedangkan ibumu adalah salah satu dari sekian banyak kembang desa, yang banyak sekali pemuda antre buat apel. Belum lagi Mbah Sarujo itu galaknyaaa beuhhhh... mantap. Dulu bapak ngajak malam mingguan, sudah mendapat pertanyaan macam besok mau nikahin ibumu saja." Kekeh bapak sambil mengenang yang diikuti ibu.

"Tapi kalau bapak dulu penakut, yaa sudah pasti bapak nggak akan mau memperjuangkan ibumu ini. Tapi entah bagaimana, rasanya ketika ngobrol atau melihat ibumu berangkat kerja, atau saat sedang main dengan temannya, dia terlihat yang paling bersinar. Dan menurut bapak saat itu, ini adalah salah satu pertanda dari sang Pencipta untuk bapak, agar jangan mudah patah semangat dan terus berjuang. Hingga Mbah Sarujo akhirnya secara jelas memberikan restunya pada bapak yang anak rantau." Cerita bapak lagi, sambil mengenang kisah masa lalunya.

"Sudah ahhh... jadi malu nih pakai acara kenang mengenang masa lalu gitu." Ujar ibu dan memintaku berhenti memijatnya. "Bukannya kamu hari ini ada desain yang harus diselesaikan ya? Sudah selesai? Terus katanya kamu juga terima beberapa project lainnya?" Tanya ibu, mengingatkan.

"Yah! Iya bu, aku harus meeting buat bahas project. Waduh malah lupa. Oke deh bu, pak, aku ke kamar dulu yaa." Ujarku langsung berlari ke kamarku yang terletak di depan. Bersebelahan dengan kamar Mbak Raras.

"Anak itu... teledornya nggak sembuh-sembuh persih bapak!" Ujar ibu sambil mencubit perut bapak.

"Eh... dia itu separuhnya kan kamu, jangan lupa dong!" Balas bapak tidak ingin kalah.

Bapak dan ibu adalah sosok yang tepat ketika hati ini sedang dilanda gundah. Terima kasih bapak dan ibu, sudah selalu ada untukku. Dan selalu mendukung serta menyertakan namaku dalam setiap doamu. Aku sayang kalian.



The End


Cerita lainnya:



    


Terima kasih telah mengikuti Cerita Ramadhan kali ini. Semoga kita dapat bertemu dengan Cerita Ramadhan lagi pada tahun depan :) Temukan cerita Ramadhan Bersama Bapak lainnya di sini!

Penulis: Journal Creative World
Editor: Journal Creative World

Ide Cerita: Journal Creative World



Presented by

© Journal Creative World 2020

Komentar

KAMI BERHAK UNTUK:

Menghapus komentar yang tidak mendidik, merendahkan atau menistakan suatu golongan, serta pertimbangan kenyamanan publik lainnya. Kami harap setiap komentar yang muncul di blog ini ramah untuk dibaca pengguna di segala rentang usia. Mohon cerdas dalam berkomentar.