Review: Iman Budhi Santosa - Golek Dalan Padhang | Book Review Indonesia

Review: Iman Budhi Santosa - Golek Dalan Padhang (Mencari Jalan Terang) | Book Review Indonesia


Pada postingan kali ini, kami akan mereview salah satu buku, yang masih beraroma-aroma filosofi Jawa. Bila pada postingan kemarin, kami telah menuntaskan buku tentang cerita legenda di Jawa, maka pada postingan kali ini, kami masih akan mereview hal-hal terkait Jawa lagi. 

Sebelumnya mohon maaf, karena di postingan sebelumnya, kami mengatakan akan mereview buku "Mengenal Wayang", namun dipertengahan jalan, kami tertarik membaca sinopsis dari buku ini, yang secara tidak sengaja nongol di iPusnas. Luar biasa sekali memang semesta.

Penasaran gimana review buku tersebut? Yuk langsung saja.


Iman Budhi Santosa - Golek Dalan Padhang (Mencari Jalan Terang)


Deskripsi Buku:

Blurb:

Review Buku:

Salah satu buku terkait filosofi hidup orang Jawa, yang kalau dilihat dari narasinya sangat menarik untuk dibaca. Bahkan sampai lupa kalau halamannya sudah habis. Yups, semenarik itu. Petuah-petuah orangtua yang jaman kecil (bocah) masih sering didengungkan, tapi sepertinya di masa sekarang sudah agak jarang. 

Banyak hal yang misalnya terlarang bagi orang Jawa, misal makan sambil nyunggi (mengangkat) piring itu nggak boleh, tapi kenyataannya sekarang banyak kok yang makan sambil nyunggi piring (salah satunya di pesta nikahan modern, standing party). Dan masih ada banyak-banyak-banyak lagi petuah yang mulai tergeser karena perubahan zaman. Wah buku ini sih sekaligus membuka mata batin, biar nggak lalai lagi dalam menjaga kebudayaan Jawa agar tetap lestari, toh beberapa nilai-nilai kebudayaan tersebut masih relevan dengan kehidupan saat ini. 


Ojo nganti wong Jawa ilang Jawane. Inilah salah satu petuah yang sejak jaman masih kecil selalu memiliki tempat tersendiri untuk dipikirkan. Jaman dulu mikirnya gini, "mosok iso ilang Jawane? Lha wong isih nang Jawa ngene kok, isih iso ngomong Jawa ngene kok." Hahaha... astaga pemikiran bocah banget, mana bahasanya pake Jawa ngoko lagi (༎ຶ ෴ ༎ຶ). 

Ternyata salah satu penanda-pertanda-tanda-nya itu yaa bahkan dari bahasa yang digunakan. Kalau jaman dulu terdapat tingkatan dalam berbahasa (krama-ngaka), kalau jaman sekarang ada pilihan dalam berbahasa. Nggak bisa bahasa Jawa Krama Inggil (ketika diajak ngobrol orang yang lebih tua), yaa pakai saja bahasa Indonesia. Selesai perkara.

Benar-benar yaaa buku ini memberikan banyak sekali pencerahan pada diri ini. Kenapa nggak dari dulu saja sih, seneng bacaan yang filosofis abis gini ( ꈨຶ ˙̫̮ ꈨຶ ). Buku ini menjadi semacam pedoman, penuntun, pembuka jalan pikiran dan hati, agar nggak boleh lagi merasa 'bodo amat' pada hal-hal yang menurut diri kita bukan urusan kita. Istilah Jawa-nya 'ojo ndableg'. Aduh, semakin dibaca kadang pada bagian tertentu dari buku ini, merasa mencubit diri ini.


Tapi menurut penulisnya, orang Jawa itu sejak jaman dulu yaa nggak pernah menolak adanya perubahan, kalau iya menolak perubahan, mungkin nggak akan seperti sekarang. Toh kenyataannya orang Jawa terbuka dengan agama-agama yang masuk di tanah Jawa ini. Dan selalu bisa hidup rukun ditengah perbedaan yang ada. Serta dapat saling berkolaborasi yang menjadikan kebudayaan Jawa semakin kokoh. Teteg.

Jadi masih kata penulisnya lagi, kebudayaan Jawa selalu terbuka pada perkembangan zaman. Termasuk perubahan gaya hidup dan cara pandang orang Jawa modern. Namun semestinya sebagai orang Jawa, juga wajib untuk nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa. Intinya sih, ojo nganthi keblinger. Atau unen-unennya seperti ini "ngana ya ngana, ning aja ngana." Ikut perkembangan ya ikut perkembangan, tapi jangan kebangetan atau kebablasan

Wah unen-unen "ngana ya ngana, ning aja ngana", juga sudah lama sekaliiii menjadi salah satu hal yang dipikirkan ketika masih bocah. Gara-gara lihat tulisan di baju, yang dibeli di Yogyakarta. Zaman dulu sih tertarik saja sama "apa sih artinya?" Dan bahkan sampai sekarang masih suka geleng-geleng sama kepandaian rangkai-merangkai kata orang Jawa kuno. Luar biasa, bukan hanya pandai merangkai kata, tapi juga pandai menyelipkan arti-arti maupun makna mendalam tentang kehidupan.

So, bukunya sangat mencerahkan sekali. Bahkan sebenarnya buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang telah diterbitkan, di surat kabar? Kalau nggak salah. Hehehe.

Bukunya sangat menginspirasi sekali, bahkan ada banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik dari cerita Bharatayuda (?) yang saling memperebutkan kerajaan Hastinapura (?). Astaga sejujurnya cerita pewayangan pun sudah agak pudar dari ingatan ini. Namun, penulisnya cukup detail dalam menjelaskan di dalam bukunya, dan penulisnya juga tidak terlalu membela Pandawa maupun tidak terlalu menjelekan Kurawa. Hal ini karena sejarah ditulis oleh para pemenang. 

Meneladani segala hal, bahwa hal yang bahkan tidak terlihat atau eksis lagi (di masa sekarang), ternyata memiliki arti mendalam bagi orang Jawa. Hmmm... seperti tumbuhan, kenapa jaman sekarang orang lebih senang membangun pagar tembok yang menjulang tinggi, sedangkan pada masa lalu orang senang memagari pekarangan rumahnya dengan tumbuhan. Termasuk kembang sepatu. Wah dulu sering lihat rumah-rumah dengan kembang sepatu dipagarnya. Kalau nggak salah dulu pagarnya pun hanya berupa kayu (pring) yang digunakan untuk rambat-merambat tumbuhan, atau tempat tumbuhan bersandar. Hmmm... ternyata benar juga. Baru sadar ಥ_ಥ.

Kekurangannya, hmm... bukunya tidak ditemukan di list Goodreads, jadi nggak bisa kasih rating dan menambah list bacaan :D wehehehe. Kan sayang, buku cerita legenda Jawa yang kemarin diposting saja nggak masuk list. Eh buku ini juga nggak bisa masuk list ಥ_ಥ.

Isinya sangat menarik sekali apalagi buat para kawula mudha, yang sedang ingin mempelajari filosofi Jawa. Sangat kami rekomendasikan, karena memang isinya terkait unen-unen kebechikan. Bahkan salah satu nilai positif dari buku ini adalah dapat menambah kosakata bahasa Jawa, bahkan ada beberapa kata yang sempat sulit diucapkan. Beberapa kali, dibeberapa kalimat  atau unen-unen tertentu, sangat banyak ditemukan kosakata yang sangat asing, atau bahkan sulit diucapkan. Mesti mencobanya beberapa kali. Sampai kelu lidah ini. Tapi hal tersebut merupakan nilai positif bagi kawula mudha yang sudah jarang menggunakan bahasa Jawa, dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, cekap semanthen atur kita, mugi saged maringake manfaat kang kathah bagi kita sedanten. Apakah benar? demikian tulisannya? Hmm... ternyata nulis dan ngomong Jawa itu sulit kalau sudah lama tidak dipraktekan.

Oke, jadi cukup sekian dulu postingan dari kami, apabila ada kurang dan lebihnya, maafkanlah kami yang memang sedang belajar (lagi) nguri-uri kebudayaan Jawa. Next postingan adalah review "Mengenal Wayang" (ノ゚0゚)ノ~ yoshhhh semangat! Semoga bisa :). Baca juga postingan kami terkait buku lainnya disini.

nb: sayang banget sebenarnya agak kecewa dengan ilustrasi cover yang digunakan. Entahlah tapi rasanya ilustrasinya kurang tepat gitu. Kenapa juga harus menggunakan ilustrasi siluet orang menaiki unta? Malah yang ada dibayangan waktu melihatnya untuk pertama kali, semacam buku yang nantinya bakal full pembahasan terkait islam atau Arab (?). Iya sih sebenarnya mudeng, ilustrasi tersebut untuk merepresentasikan "perjalanan" dari hal yang penuh ketidaktahuan menjadi tercerahkan dan akhirnya menjadi tahu. Iya mudeng. Tapi karena isinya full ngebahas tentang Jawa, bahkan juga banyak pembahasan tentang wayangnya, kenapa tidak menggunakan ilustrasi wayang atau gunungan (saat pementasan wayang). Yah... pokoknya hal-hal yang beraroma Jawa gitu. (Ini nb atau curhat sih?).


Semoga harimu selalu menyenangkan! Keep creative! Keep literate!







See you!
Salam kreatif

Penulis: Admin Journal Creative World 
Editor: Admin Journal Creative World












Komentar

KAMI BERHAK UNTUK:

Menghapus komentar yang tidak mendidik, merendahkan atau menistakan suatu golongan, serta pertimbangan kenyamanan publik lainnya. Kami harap setiap komentar yang muncul di blog ini ramah untuk dibaca pengguna di segala rentang usia. Mohon cerdas dalam berkomentar.