Review: Aleeta Jones Trilogy | A Girl Who Loves A Ghost | Twin Flames | Book Review Indonesia

Review: Aleeta Jones Trilogy |  A Girl Who Loves A Ghost | Twin Flames | Book Review Indonesia




Estimasi baca: delapan menit

Postingan ini kami sudah siapkan review seru dari dua buku yang kami beli pada bulan September lalu. Kedua buku tersebut langsung menyedot perhatian dan rasanya tak tahan untuk terus menunda membacanya. Sama seperti saat ini, ketika kami sudah menyelesaikan kedua buku tersebut. Kami tidak sabar memberikan ulasan kami terkait kedua buku itu!

Oke, tanpa berlama-lama lagi, kami benar-benar sudah tidak sabar mengungkapkan pendapat kami setelah membaca kedua buku tersebut. Hal ini karena ketika membaca kedua buku tersebut, reaksi dan penilaian kami terhadap kedua buku tersebut sangat berbeda. Bahkan sangat mengerikan perbedaannya. Hohoho. Sudah penasaran?


Kami awali review kami dengan membahas A Girl Who Loves A Ghost!

A Girl Who Loves A Ghost - Alexia Chen



Deskripsi Buku



Blurb

Review

Kami ingin bersyukur terlebih dahulu, karena akhirnya kami mendapat kesempatan untuk memiliki kedua buku dari Alexia Chen, yang kami tahu setelah membacanya melalui Goodreads. Jadi ketika kedua buku tersebut dijual pada salah satu toko daring, tanpa menunggu lebih lama lagi, kami langsung membeli keduanya.


Ketika kami sudah membuka segel buku Twin Flames, ternyata pada bagian belakang buku tersebut, tertulis bahwa A Girl Who Loves A Ghost adalah seri pertama dari trilogi Aleeta Jones. Makanya, kami memutuskan untuk membuka segel A Girl Who Loves A Ghost, walaupun dalam hati ingin membaca Twin Flames terlebih dahulu. Namun karena ternyata kedua novel tersebut bersambung, maka kami memutuskan untuk mengikuti alur permainan penulisnya saja. Membaca A Girl Who Loves A Ghost terlebih dahulu, agar lebih mengetahui rangkaian ceritanya.


Namun cerita dibuka dengan... biasa saja, hmmm... mungkin karena sejak awal membaca kami tidak begitu menyukai cara bertutur yang penulis gunakan untuk karakter tokoh utamanya. Hmm. Agak berlebihan, terlalu menandak-nandak, dan terlalu sinis atau senewen ketika mengomentari segalanya. Fyi, di sini kebanyakan menggunakan sudut pandang si tokoh utama wanita. Dan rasanya si tokoh utama wanita agak terlalu berlebihan, entahlah atau memang kami tidak begitu menyukai saja dengan gaya bertutur yang digunakan. Tapi ketika si tokoh utama lelakinya bermonolog, tidak separah monolog pikiran yang digunakan si tokoh utama wanita. Bukan hanya monolog, tetapi juga saat ia sedang berdialog dengan tokoh lainnya.

Dan karena di sini sebagian besar menggunakan sudut pandang si tokoh utama wanita, tentunya membuat gaya bertutur cerita kurang menyenangkan. Tentunya karena si tokoh utama wanita, terlalu berlebihan ketika mendeskripsikan keadaannya. Padahal kami berharap ada dialog-dialog mendalam, karena berdasarkan blurb di cover belakang, kami menyukai gaya penulisannya. Keren dan seakan menjanjikan petualangan yang dipenuhi dialog mendalam antar kedua tokoh, ini dua tokoh dengan perbedaan alam loh. Sayangnya, si tokoh utama wanita hanya senang menjerit, berceloteh tidak jelas, dan memandang segalanya dengan sinis lalu yang paling parah dia sangat ceroboh dan sering bertindak gegabah. Hmm. Ini bagian yang melingkupi sebagian besar cerita, yang tentunya membuat mood membaca jadi agak goyah. Gemesss banget sama tokoh utama wanitanya.


Sebenarnya membacanya cukup cepat, walaupun halamannya hampir mencapai 600an halaman. Namun sayangnya permasalahan hanya berpusar pada hal-hal yang itu-itu saja, jadi agak jenuh juga membacanya. Padahal ketika menggunakan sudut pandang si tokoh utama lelaki, setidaknya gaya bercerita menjadi lebih baik, sayang entah kenapa sudut pandang si tokoh utama wanita dibuat seperti itu. Sungguh sangat mengganggu. Lalu efek menegangkan dari cerita juga kurang terasa, semuanya mengalir biasa saja.

Padahal bila melihat latar belakang pendidikan tokoh utama wanita yang sudah kuliah, harusnya dia bisa lebih bijak dalam menempatkan dirinya, dan ketika dia memberikan komentar-komentar sinisnya. Hmm. Sedangkan di sini kami tidak mendapatkan kesan si tokoh utama yang dewasa dan dapat menguasai kondisi dan situasi. Sangat disayangkan.

Agak kecewa juga sih karena berdasarkan blurb di cover belakang, kami memiliki harapan akan ada banyak pembicaraan mendalam tentang kedua tokoh tersebut. Belum lagi, bagian paling penting dari cerita ini kan romance-nya, tapi sebenarnya kami kurang mendapat sinyal-sinyal kedua tokoh utama saling suka atau saling mencintai. Menurut sudut pandang kami sih, keduanya hanya saling melempar ejekan, sehingga bagian benih-benih cinta itu kurang mendapat porsi untuk tumbuh. Bagian romance-nya kurang smooth ketika dimasukkan dalam cerita. Seakan dia ada di bagian luar dari cerita, lalu dipaksa dan ditarik masuk ke dalam lingkaran cerita. Tapi yahhh mungkin bagian romance-nya menjadi hambar karena sudah tertutupi oleh kesinisan si tokoh utama wanita.


Secara keseluruhan, ide dasar ceritanya menarik, namun kurang dikupas secara mendalam. Semuanya masih serba mengambang di permukaan. Cerita masih berpusar-pusar di titik yang sama, yang tidak membuat cerita berkembang. Belum lagi gaya bercerita yang terlalu berlebihan, yang membuat cerita menjadi kurang nyaman dibaca. Cover depan menarik, blurb juga menarik menimbulkan keinginan untuk membaca cerita. Hanya saja cerita kurang dieksplorasi dan kurang terlihat story development dan character development. Beberapa hal seperti serba dipaksa-paksa. Jadi nilai yang kami berikan pada novel ini sebesar 3★  huhuhu, padahal kami berharap dapat memberi lebih. Tapi sayang, hati ini tidak sanggup. Semoga Twin Flames dapat menjadi obat pelipur lara. Halah.

Oke, sekian ulasan dari kami terkait novel tersebut. Kami hanya menyampaikan hal-hal yang kami pikirkan sepanjang membaca novel tersebut. Tidak memiliki maksud apapun. Namun, semua kembali kepada preferensi pembaca. Menurut kami, gaya bercerita yang digunakan penulis, cocok untuk remaja hingga dewasa awal (young adult). Mungkin  bila kami membacanya ketika kami masih SMA, kami akan sangat menyukai novel ini. Namun karena sekarang kami sudah tua (ehem), jadi kami lebih suka membaca suatu cerita yang memiliki dialog atau monolog yang mendalam (nggak gitu juga sih). Atau setidaknya yang tidak terlalu berlebihan penyampaiannya.


Mari kita lanjutkan ke review kedua!

Twin Flames - Alexia Chen


Deskripsi Buku



Blurb



Review

Cerita yang mengangkat tema tentang twin flames, mungkin agak sulit ditemukan. Atau hanya kami saja yang kurang jauh menelusurinya? Hmm. Setelah membaca A Girl Who Loves A Ghost, rasanya agak takut juga dengan cerita lanjutannya. Takut akan mendapat cerita yang masih ngambang. Namun penulis sebenarnya pandai dalam membuat pembaca penasaran. Dan tentunya karena sudah penasaran sekali, kami langsung saja membaca Twin Flames.


Hal ini tentunya mengubah segala penilaian kami terkait trilogi Aleeta Jones. Walaupun buku ketiganya sepertinya belum rilis, atau kami yang kudet?

Awal membaca Twin Flames, kami nggak dibuat terkejut dengan narasi yang digunakan penulis, namun sudah cukup banyak mengalami kemajuan. Narasinya sudah lumayan. Hanya saja masih menandak-nandak dan terlalu berlebihan. Selanjutnya cerita bergerak biasa saja. Kurang terasa naik-turunnya permasalahan. Semuanya mengalir saja, biasa saja. Hingga ketika bab cerita menyisakan beberapa bab sebelum bersambung.

Ceritanya mengalami peningkatan yang signifikan. Cerita menjadi lebih ada emosinya. Lebih ada naik-turunnya permasalahan. Bahkan membuat deg-degan juga. Pokoknya, ketika cerita memasuki babak baru, yang mana menurut kami narasi si tokoh utama tidak lagi begitu menjengkelkan. Setidaknya ada unsur-unsur menarik dan menegangkannya. Di sini lebih banyak dipaparkan roh-roh gentayangan.


Bahkan di bagian menuju akhir diungkapkan twist yang cukup membuat kami tercengang. "HAH?" yah tercengang karena kami menebak yang lain dan penulis mengungkapkan yang lain. Tapi yah pokoknya keren banget bagaimana story dan character development di bagian akhir. Bahkan karena hal inilah kami tidak ragu memberi 4★, memang kemajuannya sepesat itu. Bahkan di bagian akhir cerita, pembaca pasti akan dibuat penasaran. Dan ingin segera membaca series ketiganya.

Secara keseluruhan, cerita Twin Flames sudah lebih baik dengan unsur deg-degan, penasaran, takut, dsb dapat berpadu dengan baik. Walaupun secara narasi tokoh utamanya masih perlu banyak perbaikan. Tapi setidaknya peningkatannya super mengejutkan. Menurut kami penulis jago menuliskan blurb yang membuat penasaran, memiliki ide cerita yang bagus, hanya saja kurang memberikan perasaan penasaran dan greget di awal cerita. Lalu covernya juga menarik. Dan yang paling ditunggu tentu saja series terakhirnya. Hal ini karena Twin Flames di penggal ketika cerita sedang seru-serunya. Huuuh sebel banget. Ohiya, di sini juga unsur romance-nya jauh lebih terlihat smooth (mungkin karena kami sudah tahu, jadi terasa smooth???). Tidak terkesan ditarik paksa masuk ke cerita. Entahlah sebenarnya lebih nyaman dengan cara bertutur si tokoh utama lelakinya. Lebih dapat saja unsur gregetnya.


Fyi, kalau nggak salah A Girl Who Loves A Ghost di cetak pertama kali pada tahun 2014 dan Twin Flames 2017. Lalu berdasarkan hitungan yang kami lakukan, bukankah seharusnya tahun ini buku ketiganya rilis? Hal ini karena penulis secara brutal memenggal cerita yang lagi seru-serunya dan meninggalkan seribu satu macam pertanyaan. Halah.

Oke, sekian ulasan kami terkait dua novel dari Alexia Chen. Mohon maaf apabila dalam penyampaiannya kami menggunakan kata-kata yang menyinggung. Namun kami hanya menilai kedua novel tersebut berdasarkan perspektif kami sebagai pembaca. Oke, sampai jumpa di postingan kami yang lainnya!


Postingan rilis setiap Senin dan Sabtu pada pukul 09.00 wib.



Stay health, stay beauty, stay creative and stay literate


Semoga harimu selalu menyenangkan! 

Keep creative! Keep literate!



See you!
Salam kreatif

Penulis: Admin Journal Creative World 
Editor: Admin Journal Creative World











© Journal Creative World 2020

Komentar

KAMI BERHAK UNTUK:

Menghapus komentar yang tidak mendidik, merendahkan atau menistakan suatu golongan, serta pertimbangan kenyamanan publik lainnya. Kami harap setiap komentar yang muncul di blog ini ramah untuk dibaca pengguna di segala rentang usia. Mohon cerdas dalam berkomentar.